Siapa Suruh Jadi Bidan?


Bagi sebagian orang, masa remaja ialah masa terindah yang tidak akan dilupakan. Di ketika itu terjadi banyak perubahan fisik dan emosi, muncul perasaan-perasaan yang berbeda kemudian datanglah cinta pertama. Namun bagi saya, masa remaja akhirlah yang merupakan masa tak terlupa. Meski tak selalu indah, tapi selalu dikenang. Pembelajaran menjadi insan pintar balig cukup akal dimulai di titik ini.



Ada banyak hal yang aku pelajari di dingklik kuliah semasa berada pada usia remaja akhir. Bagaimana memahami diri sendiri, menyayangi keputusan yang diambil dan senang dalam menjalani garis kehidupan. Tentu hal-hal yang terkesan sepele ini tidak aku dapatkan secara mandiri, tetapi dari warisan ilmu dan pengalaman dari para dosen. Yang paling aku ingat ialah apa yang disampaikan oleh Bu Evi.

Saya kuliah di jurusan kebidanan. Tentu ini bukan jurusan yang gampang dijalani oleh orang yang lemah dalam menghapal menyerupai saya. Banyak kiprah aneka mata kuliah yang harus dituntaskan tiap harinya. Ada banyak istilah yang wajib dihapal dan mengerti. Ada banyak hukum yang wajib dipatuhi dalam keseharian.

Mengeluh?
Di tahun pertama, aku hampir menyerah. Nilai indeks prestasi (IP) aku pun terendah. Saya putus asa, merasa jurusan ini benar-benar di luar kemampuan saya. Mengingat pula bagaimana aku masuk di jurusan ini atas usulan Mama.

Karena terlanjur masuk, aku jadi asal-asalan. Yang penting kuliah, nilai tak jadi masalah. Apa ilmu yang didapat, urusan nanti. Yang penting bolos penuh. Yaa memang tidak bisa membolos juga, sih. Sebab aku tinggal di asrama, tidak ada alasan sakit yang menciptakan bolos ikut mata kuliah.

Hingga suatu hari kelas diisi Bu Evi. Saat itu dia mengisi ihwal pendokumentasian dalam kebidanan. Alih-alih membagikan materi, dia malah bertanya apa motivasi kami kuliah jurusan kebidanan. Dan balasan disuruh orang bau tanah menjadi mayoritas. Sama menyerupai balasan saya.

"Siapa suruh jadi bidan?" Bu Evi berkata sambil tersenyum. "Bidan tugasnya banyak. Kurang istirahat juga alasannya sering begadang untuk menyelesaikan menolong persalinan. Gajinya kecil. Resikonya segunung. Resiko kehilangan nyawa pasien yang ditolong, nyawa bayi dan nyawa diri sendiri yang bisa saja tertular penyakit dari pasien."

"Siapa suruh jadi bidan?" lanjutnya. "Biaya kuliahnya mahal. Begitu lulus, belum tentu eksklusif sanggup kerja."

Pamungkas! Argumen tersebut menciptakan kami mengangguk dan berniat segera keluar dari kampus. Lebih baik cari jurusan lain sebelum terlambat. Mumpung masih semester awal.

"Tapi... Pahalanya banyak. Bisa menolong orang lain itu rasanya luar biasa, loh. Ada kepuasan batin tersendiri. Makara merasa senang alasannya bisa bermanfaat bagi orang lain. Sebaik-baiknya insan ialah yang bermanfaat bagi sesama, kan?"

Kami mengamini kata-katanya.

"Paling utama, dengan berada di jurusan kebidanan dan nantinya menjadi bidan, jadi lebih mengerti ihwal kesehatan. Dapat menjaga kesehatan diri dan keluarga. Tidak terlalu panik jikalau ada keluhan kesehatan. Setidaknya bisa atasi derma pertama."

Kami terdiam. Yang awalnya 100% ingin 'cabut' dari kebidanan, mendadak jadi cinta mati dan bersyukur menerima ilmu di jurusan ini. Benar sekali... Tidak semua orang punya kesempatan baik menyerupai aku dan teman-teman. Yang penting terus berguru semoga sanggup menyerap banyak ilmu hingga nantinya diaplikasikan sesudah lulus.

Alhamdulillah...
Sudah lebih dari 5 tahun aku menjadi bidan. Bersyukur sekali bisa menyandang profesi mulia ini. Hati berbunga usai tuntas menolong persalinan. Lega rasanya melihat ibu dan bayi yang aku tolong sehat selamat.

Siapa suruh jadi bidan?
Orang tua!
Namun jauh di dalam lubuk hati, diri inipun ingin menjadi sosok yang mempunyai kegunaan bagi orang lain. Dan menjadi bidan ialah salah satu caranya.


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel