Liwetan Ala Ibu Hamil Minim Pengalaman



DRRRT…!

Kemarin siang, ponsel saya bergetar. Agak malas membuka pesan yang ada, mengingat ketika itu sedang lezat rebahan di depan televisi. Paling juga chat grup, kadang yang dibahas gak nyambung dengan ajaran saya. Makara lebih banyak sekedar baca tanpa respon. Namun rupanya kali ini berbeda, alasannya yaitu saya jadi topik bahasan di grup whatsapp keluarganya suami.

Nek onok gerhono, opo Artha gak dibancaki sego liwet?” sebuah teks yang artinya ‘kalau ada gerhana, apakah saya tidak dibuatkan nasi liwet untuk selamatan?’ membelalakkan mata.

Nasi liwet?
Dengar saja gres kali ini, itu nasi yang diapakan? Secara bahasa, liwet berasal dari bahasa jawa yang artinya menanak. Maka cara menciptakan nasi liwet yaitu dengan sekali proses masak dalam wadah tembaga memakai api kecil sehingga matang merata. Rasanya pulen dan gurih. Kalau untuk masak, resep dapat tanya mbah gugel, namun jujur saya kurang percaya diri (PD). Ilmu meracik makanan yang dimiliki masih amat sangat dangkal, goreng tempe saja kadang masih keasinan. Kalau nekat bikin nasi liwet, apa nantinya dapat dimakan? Lagipula…nasi liwet itu untuk apa?

Saya gres tahu bila berdasarkan kepercayaan jawa, gerhana bulan diyakini membawa efek pada ibu hamil. Orang-orang ‘tua’ yakin bahwa ketika itu bulan dimakan oleh batara kala, sang raksasa, yang kemudian diibaratkan sang makhluk menakutkan tersebut dapat saja memangsa janin. Maka tak heran kemudian muncul kekhawatiran terjadi ketaknormalan atau nasib jelek yang menimpa sang janin nantinya. Banyak juga kandungan yang raib di kala gerhana. Oleh alasannya yaitu itu, wajib dibuatlah cara mengusir sang raksasa dengan menciptakan liwetan. Katanya …


Beruntung Mama mertua yang tinggal di luar kota mengatakan solusi mudah semoga tak perlu siapkan nasi liwet: diganti sholat gerhana dan banyak sedekah. Saya dan suami siap untuk itu, rasanya juga lebih rasional. Pikir kami sudah tidak ada masalah, tinggal meluncur bagi sedekah usai sholat magrib alasannya yaitu ba’da ashar kami sudah berencana memeriksakan kandungan saya ke bidan senior di desa sebelah.

cara sholat gerhana

Sayangnya usai magrib, para tante masih ramai membicarakan mitos tersebut. Mereka menyarankan semoga saya menciptakan nasi liwet untuk kenduri alias mengembangkan nasi ke tetangga-tetangga sekitar semoga tidak terjadi apa-apa pada kandungan saya. Mungkin dikira saya pandai memasak sehingga dapat menciptakan nasi liwet tanpa derma mereka, padahal selama ini selalu tanya resep masak pada Mama saya yang juga tinggal di luar kota, Mama mertua, atau pada mbah gugel.

Gampang, kok. Bikin nasi liwet, nyambel kacang panjang campur telur rebus saja,” kata adik Mama mertua yang tinggal di erat rumah.

Adik Mama mertua yang satu lagi, tinggalnya di seberang rumah, juga menambahkan, “Orang-orang biasanya gitu. Kemarin malam sudah ada yang mengembangkan liwetan sambal teri.”

Saya menatap suami nanar. Mencoba telepati, “Yank… nasi liwet itu apa ajah ndak tahu… Gimana cara bikinnya?

Tanya mbah gugel,” jawab Mas Boz menangkap kegelisahan di benak ini seraya mengedipkan mata. “Yuk cari makan dulu, keburu habis nasi gorengnya.

Kami melenggang pergi dengan PR menciptakan nasi liwet beserta lauknya. Padahal semenjak siang, stok nasi di magic com sudah habis. Rencananya memang beli makan malam berdua alasannya yaitu suami ingin makan nasi goreng sedangkan saya menyantap mi ayam. Nah ketika memesan kedua makanan itulah saya browsing bagaimana cara menciptakan nasi liwet.

Kayaknya sih mirip nasi uduk, ditambah santan…” komentar saya usai baca contekan di internet. “Kalau itu dapat bikin, bila lauknya gak yakin dapat lezat …

Saya murung. Pusing. Suami saya tidak pernah minta sajian makan aneh-aneh. Saya memasak apapun, walau rasanya sering terlalu asin atau bagus selalu saja habis. Tapi undangan para tante demi tradisi ibu hamil ketika gerhana bulan yang terjadi tanggal 7 Agustus 2017 malam sampai dini hari tanggal 8 Agustus  2017 menciptakan saya berpikir keras untuk liwetan.

Berkat diskusi dengan Mas Boz, diputuskanlah beli lauk tahu tempe goreng di penjual lalapan. Lalu sayurnya beli urap-urap pada penjual nasi jagung, yakni rebusan daun singkong dan kecambah yang diberi bumbu pedas parutan kelapa muda. Minumnya saya buatkan es sirup dan kopi susu hangat bagi para Om.

Iyah, mungkin program liwetan saya agak nyeleneh. Kalau mitosnya, cara mengusir Batara Kala memakai liwetan itu ibu hamil dan keluarganya menyiapkan nasi liwet dengan lauk berupa telur rebus dan sambal. Mereka kemudian berkumpul di rumah sang ibu hamil. Tradisinya, ibu hamil harus menggigit pecahan kreweng atau genting sambil mengelus perut, meminta keselamatan sang janin. Bahkan juga sembunyi di kolong daerah tidur, semoga sang raksasa tidak dapat menemnukan sang janin. Kemudian keluarga ibu hamil memanjatkan doa semoga jabang bayi terhindar dari marabahaya, kemudian memakan liwetan bersama-sama.

Kalau saya lain lagi dalam menyiapkan program selametan atau kenduri ini. Nasi liwet yang saya masak yaitu adonan beras yang sudah dicuci higienis berserta santan cair yang ditambah sedikit garam dan penyedap rasa. Lalu direbus jadi satu dalam panci memakai api kecil sampai santan cair meresap tepat dalam beras. Setelah itu gres ditanak lagi selama setengah jam dalam dandang. Baunya harum. Rasanya … ah sudah jangan ditanya. Kita lihat saja buktinya.

menu liwetan ala Artha hanya mirip ini, ala kadarnya

Untuk lauknya, alasannya yaitu berdasarkan saya merebus telur terlalu usang dan juga tak punya materi sambal, maka saya hanya menciptakan telur dadar. Anti pedas mirip saya mana punya cabe dan tomat? Beruntung salah satu adik Mama mertua sudah membuatkan sambal telur rebus dalam cobek. Tinggal bersama lauk dan sayur yang saya beli bersama suami sesuai rencana: tahu, tempe, dadar jagung, ikan asin goreng dan urap-urap.

Kala itu sudah jam 9 malam. Terlalu larut untuk jam makan malam. Namun beruntung, para Om Tante dan beberapa sepupu mau berkumpul di rumah kami. Anggap saja ini liwetan, selamatan-nya ibu hamil menjelang gerhana bulan. Salah seorang Om memimpin doa, lainnya mengamini. Lalu kami makan bersama, tapi tak jadi bagi-bagi kenduri ke para tetangga oleh alasannya yaitu para Om dan Tante juga tetangga kami berdua. Hihi. Alasan bergotong-royong sih alasannya yaitu kurang PD mengembangkan ke tetangga, takut rasanya kurang sedap. Maklum seadanya.

sebagian 'peserta' liwetan yang tampak di kamera

Alhamdulillah yang hadir malam kemarin lahap menyantap nasi liwet yang saya buat. Alhamdulillah tidak ada yang sakit perut juga usai memakannya. Bisa dibilang, selamatan mendadak yang kami buat tidak mengecewakan sukses walau tak sesuai tradisi yang seharusnya. Saya tak sempat mencari kreweng, apalagi menggigitnya. Pun tak sembunyi ke kolong daerah tidur ketika fase puncak gerhana bulan terjadi, yakni jam 01.20 WIB Selasa dini hari kemarin. Sebab saya telah terlelap di alam mimpi, seorang diri di rumah alasannya yaitu Mas Bos harus kerja masuk malam. Alhamdulillah subuh bangkit tidur, kondisi saya dan janin juga baik-baik saja.

Alhamdulillah …
Alhamdulillah …

Suatu pengalaman gres bagi saya menjadi ibu hamil dan menjalankan tradisi liwetan. Walau kedua Mama (mama kandung dan mertua) berada jauh di luar kota, namun keduanya memberi support berupa ketenangan dan tak memaksa menjalankan tradisi liwetan. Iyah, saya berdua dengan suami tinggal di Sidoarjo. Padahal asal kami berdua yaitu Kota Pasuruan. Berdua menjalankan perahu rumah tangga, tapi tetap dikelilingi oleh para Om Tante, hiyaaa… Hihi.

Terima kasih sudah membaca. Adakah yang kemarin malam juga menciptakan liwetan? Bagi dongeng ya … Udah andal bikin nasi liwet, belum? Oiya tanggal 21 Agustus 2017 nanti juga akan terjadi Gerhana Matahari Total. Tapi dapat dilihat di Amerika. Semoga gak disuruh liwetan lagi, yah. Pusing nan ribet, tekanan batin alasannya yaitu masaknya ala-ala. Takut yang makan jadi diare, hehe.



Salam manis,


Tha_


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel